Tentang Rumah Bambu

rumah bambu adalah tempat bekerja menggunakan konsep haibun. penikmat sastra dipersilahkan mampir.

28 Agustus 2008

Hujan Salah Musim

"Udan salah mangsa" begitu jawab ibu atas pertanyaan saya di masa kecil dulu."Katanya kemarau, kok ada hujan?" kala itu yang saya tahu adalah mustahil ada hujan di musim kemarau. Tentu saja itu jawaban yang sangat tepat untuk anak seusia saya; masih TK. Baru kemudian saya tahu, yang membedakan musim hujan dan tidak adalah jumlah air yang ducurahkan dari atas. Sehingga tidak mustahil ada hujan di musim kemarau.

hujan kemarau
riuh anak renangi kedung
byur,byuurrr

Pada akhirnya, hujan salah musim, sebagaimana jawaban ibu di atas, terngiang kembali. Hujan turun di hutan kecil yang melingkungi kamar saya. Bau tanah, hawa segar dan suara air yang lumayan banyak jatuh di kedungdandang karena di hulu mungkin juga turun hujan, membuat kenangan saya muncul kembali. Ibu.

Hujan salah musim, menjadi pelepas rindu. Rindu pada apa dan siapa saja. Ketika saya merasa ditinggalkanNya, hujan salah musim menjadi tanda bagi saya agar saya menjadi lebih sabar, tekun dan tahu berterima kasih pada segala rahmat yang terlihat amat sepele.

27 Agustus 2008

Salah siapa?

Meski tinggal di hutan kecil, angin musim kemarau terasa begitu kering. Seolah-olah tajuk pepohonan tinggi tidak cukup memberi kelembaban guna mengalahkan panas yang dibawa kemarau. Sulit dibayangkan bagaimana kemarau dialami oleh penduduk kota besar yang sudah kehilangan taman. Mungkin pelarian mereka adalah kamar tidur berpendingin udara....

desau kemarau
ombang-ambing daun mati
di kubangan satu-satunya

Di televisi ada berita menyebutkan, orang harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air bersih. Yang bisa mereka bawa pulang mungkin hanya 10 sampai 15 liter. Suasana kemarau ini bisa melukiskan betapa kering kehidupan batin orang. Ketika bahan-bahan pangan melambung tinggi, kehidupan batin terpengaruh: iri, benci, egois tumbuh meruyak seperti tanpa kendali. Kalau perasaan saya ini benar, maka tidak lama lagi kita akan menyaksikan kebudayaan kematian. Saya berharap perasaan saya salah.

22 Agustus 2008

Kekuasaan

Kekuasaan dan mencipta bisa diibaratkan sebagai induk dan anak. Tanpa kekuasaan manusia tidak akan mampu kreatif; dan itu menyalahi kodratnya. Sebab sedikit atau banyak, manusia punya bekal dariNya dan sangat mulia: bisa mencipta.

Tentu sangat keliru bila kita tidak melihat kreatifitas manusia tanpa memandang bayang-bayangnya: kehendak mengendalikan. Saya mengalami betapa orang-orang kreatif sangat berhasrat mengendalikan banyak perkara dalam dua tangannya. Bekerja sama dengan mereka benar-benar meletihkan, sering saya tidak tahu ke mana arah kreatifitas mereka. Mereka begitu sibuk mengumpilkan informasi, menatanya lalu membongkar lagi puzzle yang sudah jadi itu dan memulai lagi dari awal. Seorang sahabat yang bersama saya dalam tim yang dipimpin oleh seorang kreatif dengan kenes berkata: "Capek deh!" Saya geli.

lempung basah
liat meliuk bentuk
gerabah si pencipta

Kegelian saya makin menjadi saat beberapa minggu kemudian sahabat saya itu mengubah komentarnya. Kali ini dia memuji, "Dia memang hebat."

Ya. Kita memang harus sabar menunggu buah kreatifitas mereka yang sangat kreatif itu. Tapi saya membayangkan, lebih baik mereka ini jangan jadi organisator karena mereka pasti bikin repot.

Anda boleh tersenyum...

21 Agustus 2008

Memberi

"Mengapa kamu menulis puisi di internet? Tidak takut dibajak?" teman saya menggugat keputusan saya. Memang di infotainment beberapa minggu lalu ada ribut-ribut tentang kelompok artis membajak sebuah lagu yang dipublikasikan ke internet. Teman saya melanjutkan sambil cengengesan, "Coba pikirkan andai puisimu itu diterbitkan di darat." Saya cuma tersenyum, soalnya memang saya butuh duit. Lha, siapa yang tidak?,

Saat menimbang-nimbang untuk memutuskan berhenti menulis di internet, saya teringat hubungan mesra antara matahari dan tanaman. Tanaman tidak punya kuasa apapun untuk membalas budi matahari. Sebaliknya, matahari tidak menuntut apa-apa pada tanaman. Menurut saya itu sebuah hubungan yang tidak seimbang. Bahkan matahari tidak berbuat sesuatu tatkala tanaman memilih menghindarinya. Matahari selalu memberi, termasuk memberi peluang menolaknya.

grimis di kali
kricik-kricik atasi batu
tuju takdirnya

Saya agaknya harus bangga andai ada pihak yang membajak puisi saya; apalagi puisi saya itu pada akhirnya mampu juga menghidupi keluarga si pembajak. Ya, saya temukan sebab kenapa saya harus bangga : takdir manusia adalah memberi. Jadi, oleh karenanya, sebetulnya manusia tidak akan pernah berkekurangan.

Demikianlah saya tetap menulis di sini.

20 Agustus 2008

Senja

Andai saya sebagai orang tua, saya akan bertanya pada diri sendiri: "Apa yang telah kusumbangkan pada dunia?" Tapi pertanyaan itu tidak muncul di permukaan, hanya dalam batin. Sebab, kemungkinan besar, jejak saya di dunia ini hanya pertikaian dan debat kusir. Ya, saya hanya menyumbangkan debat kusir! Kalau sudah begitu, kalimat tanya tadi makin terbenam ke bawah sadar. Sementara di luar, saya menyaksikan senja yang begitu indah.

tebaran jingga / iringkan susut kala / kalong berburu !

Ternyata bukanlah jejak yang perlu saya wariskan. Biar jejak itu hilang disapu hujan. Saya hanya perlu mewariskan cermin: ada kehidupan baru yang mengantri di depan saya; dan saya tidak punya secuil kuasa pun atasnya.

Hari ini, selagi masih muda, saya melihat senja dengan sudut pandang baru: senja bukanlah permulaan dari akhir, tapi awal menuju hidup baru.

14 Agustus 2008

Hutan Bicara Lagi

Bukan rahasia bila hutan-hutan kita sudah banyak berkurang. Gundul. Buktinya sudah dirasakan di banyak tempat. Bahkan polisi sudah menyatakan perang kepada para pembalak liar. Juga tidak bisa di pungkiri hutan pelan-pelan akan habis untuk menghidupi manusia. Saya hanya mengamini dan menggumam, "di mana lagi akan kutemui hatan?"

Tak dinyana, hutan justru saya temui saat mengapresiasi haiku di internet. Terasa sekali denyut alam dalam haiku-haiku para penyair itu. Lalu saya pun mengambil tempat, memutuskan untuk konsisten menulis haiku dibanding bentuk-bentuk puisi lainnya.

dunia maya / alam mewujud / di baris haiku

Teman-teman di kemudian.com pasti maklum pada pilihan saya. Kesederhanaan, jujur dan hemat kata, itulah yang saya petik dari dunia haiku.

13 Agustus 2008

Tenang dalam Hiruk Pikuk

Tiap pagi, sehabis membuka pintu kamar dan menghirup udara pagi yang segar, saya selalu membatin,"Keriuhan apa yang akan muncul di hari ini?" Seakan saya akan menghadapi keriuhan pasar setelah beberapa langkah meninggalkan kamar.

meringis taring/gelut anjing kucing/cuma tulang kok!

Kehidupan di depan kamar, saya lihat sebagai anjing dan kucing bergelut memperebutkan tulang. Pergulalatan hidup manusia-manusia seperti saya penuh pertarungan: gengsi,harga diri,ego,kepentingan. Riuh. Mengingatkan saya pada gonggongan dan eongan dua binatang sedang berhadapan untuk sebuah tulang yang tersisa.

Hinakah pergulatan itu?

Tentu saja tidak. Hewan, pun manusia purba, berjuang untuk memperoleh makanan agar mampu meneruskan kodratnya sebagai mahluk hidup. Manusia modern sekarang, tidak cukup hidup dari makanan. Mereka -dan juga saya- juga memuaskan ego, gengsi dan harga diri agar bertahan hidup.

Setelah membaca puisi pendek di atas, saya tersenyum geli pada diri sendiri.

12 Agustus 2008

Harapan

Kejadian luar biasa terjadi di dekat jedela kamar saya pada permulaan musim hujan lalu. Di hamparan tanah yang tertutup rontokan dedaunan bambu, muncul tunas-tunas tanaman yang tidak saya kenal namanya. Tiga hari kemudian, saat tunas-tunas itu menampakkan daun-daun pertamanya, muncul tunas-tunas yang berwarna-warni. Lagi-lagi saya tidak kenal mereka. Saya harus membutuhkan banyak waktu mencari di perpustakaan setempat supaya tahu nama mereka. Saya gagal.

Yang teringat, hanya butuh sehari hujan deras untuk menyaksikan alam yang begitu indah! Tentu butuh kepekaan pula karena keindahan itu sangat mudah dilewatkan begitu saja. Saya merasa seperti katak yang menanti datangnya hujan. Ya,sebuah baris sajak mengatakan, katak tahu hujan pasti datang. Tapi kapan, tanya saya. Jawabnya hanya menunggu dan berharap. Bila hujan datang, berilah pujian kepada alam, seperti juga katak yang pasti bernyanyi bila hutan basah kena hujan.

tunas-tunas muncul / warna-warni muka tanah / hujan perdana

Puisi tiga baris ini tercipta begitu melihat lukisan alam di bawah jendela kamar saya tadi. Tentu saja bukan sekali jadi. Penulisan ulang puisi itu terjadi saat saya merenungkan lagi puisi karya erri, salah satu penulis puisi di situs kemudian.com. Puisinya sangat berlawanan nadanya dengan puisi pendek saya. Lantas saya memutuskan mengirim puisi itu ke situs itu dengan harapan erri akan membacanya. Alam, sebagaimana manusia, selalu berubah: sedih dan duka selalu berganti. Saya berharap erri makin bersemangat, menulis puisinya dan mengetahui bahwa dia akan menemukan terang, bukan hanya tiangnya saja.

11 Agustus 2008

Rendah Hati

Beberapa minggu lalu,Jawa Timur gegap gempita oleh Pilkada. Kampanye para pemimpin daerah menyemarakkan suasana di perkotaan di seluruh penjuru. Bukan hanya kota, hiruk-pikuk kampanye bahkan sampai jauh tinggi ke pegunungan Tengger. Kota dan desa bagai album foto.

Sudah tentu yang ditawarkan adalah janji. Semua janji mengarah ke perbaikan taraf hidup tiap penduduk. Saya berpikir, andai para kandidat itu jadi pemimpin secara kolektif, Jawa Timur pasti menjadi propinsi yang paling hebat. Eh,tiba-tiba menyeruak berita bahwa suara golongan putih melebihi separoh jumlah pemilih. Saya hampir tidak percaya.

azalea gugur/ petir menyambar bersama air / keindahan mencium tanah

Namun itulah kenyataannya. Akan ada pemilu ulang untuk menentukan siapa yang bakal duduk sebagai pemimpin Jawa Timur. Kembali saya akan menyaksikan pamflet dan poster yang memberi janji.

Hanya waktu yang akan menguji janji-janji yang telah ditebarkan. Biarkan janji itu tumbuh dengan sendirinya, menghasilkan bunga-bunga yang indah. Biarkan banyak orang mengagumi dan berceloteh memujinya. Saya teringat betapa riuhnya komentar ibu-ibu mengagumi keindahan warna-warni bunga di sebuah kios bunga. Keriuhan itu berakhir dengan senyum puas pemilik kios yang bunganya laku keras. Saat hujan deras turun, pohon azalea berduka: mahkota bunganya rontok satu-satu. Hanya beberapa saja yang tersisa.

Rombongan ibu-ibu pergi dengan wajah riang karena hujan reda. Mereka membawa sesuatu yang indah untuk disematkan di rumah. Tapi pohon azalea merana sendiri. Dia harus bekerja keras lagi untuk menampilkan keindahan bunga-bunganya. Sama halnya dengan janji yang telah ditebar... mahkotanya yang indah akan rontok, bukan karena dirinya sendiri, melainkan kekuatan mahadahsyat yaitu: waktu.

09 Agustus 2008

Kesadaran Baru

Setelah memutuskan membuat sebuah blog, saya sadar telah menempatkan diri sebagai selembar kertas di tumpukan berkas di sebuah lemari besar. Artinya, saya mengaku diri bukan siapa-siapa dan butuh kerja keras agar banyak orang mengetahui keberadaan saya. Termasuk karya-karya tulis saya.

Hari ini, saya memperkenalkan diri. Belum banyak yang bisa saya sumbangkan pada dunia. Namun saya sungguh berharap, kehadiran saya akan sedikit bisa memberi perbedaan. Selembar kertas, keberanian mengakui bahwa diri teramat kecil adalah modal untuk menjadi jujur dan sederhana.

Berinternet, bagi saya yang pertama adalah sarana bercermin. Kedua, jelas untuk melihat dunia.

08 Agustus 2008

Haiku

Berawal dari kegemaran menulis laporan jurnalistik, saya mulai menyukai cerpen-cerpen Hemingway yang sangat padat, positif dan ekspresif. Berburu naskah-naskah penulis Amerika itu saya lakukan dengan hati riang. Sampai akhirnya mampu membeli sebuah buku kumpulan cerpen Hemingway terbitan YOI.

Setelah itu,saya mulai menulis cerpen. Menulis dengan gaya Hemingway. Dan menulis cerpen pendek yang bernas ternyata sangat sulit dibanding menulis feature-feature jurnalistik meski sama-sama hemat kata. Selalu muncul kecenderungan untuk berpanjang-panjang. Tapi saya terus mencoba dan terus berlatih.

Sampai suatu saat saya membaca haiku. Sebuah puisi pendek karya pujangga besar Jepang yang saya tidak mencatat nama dan judulnya. Ketertarikan saya pada haiku semakin menjadi-jadi setelah saya merasa lelah mencoba belajar menulis cerpen dengan gaya Hemingway. Haiku yang juga hemat kata jauh lebih sulit untuk dibaca, dimengerti dan dirasakan. Namun pelan-pelan saya bisa menyelaminya. Intinya, haiku adalah puisi pendek yang mau menangkap alam dalam 3 baris puisi. Akibatnya, puisi ini bisa membawa pikiran dan imajinasi yang tak terbatas. Seolah-olah tak ada bingkainya. Saya merasa terbebaskan setiap kali membaca haiku.

Itu sebabnya saya lebih sering menulis puisi pendek meski belum bisa menulis haiku.

.

07 Agustus 2008

Mana Bunga Bambunya?

Suatu siang,kami berteduh di bawah rumpun bambu. Sangat teduh karena batang-batang bambu tinggi dan rimbun tajuknya.Teman saya berkata,bahwa rumpun bambu itu lebih tua dibanding umurnya sendiri. "Aku baru tahu kalau barongan ini umurnya lebih dari tiga puluh tahun!" ujarnya sambil menghitung, barangkali.

Saya sama sekali tidak berkomentar.Dia memang kelahiran desa setempat.Mungkin dia tahu persis,semasa kecil sering bermain-main di bawah bambu di tepi sungai kecil itu.Tentang bambu yang saya ketahui adalah manfaatnya bagi kepentingan manusia.Dari seniman sampai anak kecil, dari insinyur sampai pemabuk pasti pernah mengecap manfaat bambu.

"Kamu pernah lihat bunganya?Bisa bambu berbunga?" tanya saya.Waktu itu saya bangga karena bisa mengajukan pertanyaan seperti itu.Saya merasa mengajukan pertanyaan tepat.Dan pertanyaan itu membuka topeng saya.Saya tidak mengenal bambu!

"Coba cari lagi.Biasanya kamu sangat teliti."

Biasanya keindahanlah yang menandakan kehadiran bunga.Atau baunya.Tapi tak ada jejak yang saya tangkap.Di ketinggian batang-batang bambu itu saya hanya melihat kumpulan daun kering.Sangat aneh,daun-daun itu bisa berkumpul padahal sesamanya bisa tersebar dan bergerak ke sana ke mari oleh kekuatan angin.Tampak seperti sarang.

"Ada burung yang biasa bersarang di tajuk bambu?"

Tapi jawaban yang dia berikan sangat mengejutkan!

"Kamu sudah melihat bunga bambu!"

Sampai hari ini saya belum memastikan kebenaran pendapat teman saya itu.Saya memang membiarkannya jadi misteri untuk saya selami sepanjang hayat.Bambu, manfaat dan misterinya adalah kombinasi yang tepat,bukan?Akhirnya saya pilih bungabambu sebagai nama dan pengingat saya bila mengalami kejenuhan dalam berkreasi.