Tentang Rumah Bambu

rumah bambu adalah tempat bekerja menggunakan konsep haibun. penikmat sastra dipersilahkan mampir.

28 November 2008

krisis ekonomi

Kembali krisis menerpa Indonesia. Harga-harga melambung membuat daya beli berada di bawah telapak kaki. Kesulitan tak tertanggungkan harus dipikul kebanyakan rakyat Indonesia. Kasus-kasus kejahatan meningkat:pencurian,perampokan... Tidak ketinggalan,kasus gizi buruk balita akibat kemiskinan orang tuanya.

api damar
gantikan kilau neon:
ke masa lalu

Para petinggi pemerintahan terus menebarkan optimisme, sesuatu yang dibutuhkan untuk bertahan dan berhasil melangkah di tengah kesulitan. Malah yang terakhir, SBY menghadiri pertemuan G 20 membahas krisis ekonomi global dan menemukan obatnya.

Bagiku,yang merasakan dampak paling nyata dari krisis ini –dompet cepat terkuras- upaya para petinggi itu tenggelam dalam hiruk pikuk keseharian: wira-wiri cari duit.

siang sibuk
terdengar kepak sayap
seekor capung

26 November 2008

derita bocah

Seorang anak,berumur belasan tahun,merasa tidak diperhatikan orang tuanya yang sibuk bekerja mengumpulkan uang.Sebuah perkara lazim bagi orang tua. Namun anak melihat lain:tiada cinta untuknya. Lingkaran setan yang itu-itu lagi,tak ada yang bisa memutus. Ada kemungkinan si anak sedang mencoba untuk mematahkan lingkaran itu.

termangu geram
:seumur hiduplah jarak
ke pintu rumah

Menghadapi si anak,aku tentu berdiri sebagai orang tua.Menjelaskan secara rasional tentang alasan mengapa harus bekerja keras meninggalkan rumah. Kupaparkan pula, tak ada pilihan,selain meninggalkan rumah,mengabaikan dia sebagai anak yang merasa tidak dicintai. Tentu aku sadar,keputusan itu pasti menimbulkan konsekuensi di masa depan. Konsekuensi yang belum pasti menggembirakan.

selapan tiba!
bilang selamat datang
pada hujan

25 November 2008

sembilan

“Dari 1 sampai 10,tunjukkan penilaianmu terhadap puisi ini,” kata pemilik blog kepada para pengunjungnya. Jelas ia meminta umpan balik atas kerja kerasnya berpuisi. Ia pun membentang kualitas yang harus dipilih: buruk sampai sempurna.

Sebelum ikut menilai,aku mempertanyakan: adakah sempurna dan buruk dalam berpuisi? Aku lantas ingat ada seorang tanpa lengan mampu melukis dengan baik menggunakan kakinya. Ada juga pianis Korea yang bisa bersimponi dengan jari tangan tak genap... Buruk dan sempurna,apakah bedanya?

cucian lembab-
gerah susul hujan
di mana angin?

Akhirnya kupilih angka 9 untuk puisinya: sebuah penghargaan untuk keringatnya berpuisi.

24 November 2008

malam perak

Peralihan musim kemarau menuju musim hujan –sesekali waktu dalam hidupku- meninggalkan jejak visual yang mengagumkan. Malam itu, masih di sekitar pukul tujuh, aku harus kembali ke mess setelah kunjunganku ke perkampungan selesai. Deretan rumah, yang terang lampunya menebarkan kehangatan, ada di sisi kiri dan kananku. Mengawal.

Biasanya di batas desa,aku akan segera menyalakan senter karena ada hutan kecil di depan. Tidak! Kali ini hutan kecil itu mengkilap karena gerimis pekat sorenya. Kini jalanku di terangi pepohonan.

Bulan penuh
Akankah terlewat
Tanpa pantun cinta?

22 November 2008

cermin

Pernahkah para orangtua menyadari,kepribadian anaknya hari ini adalah buah dari keputusan-keputusan mereka di masa lalu? Umumnya lingkunganlah yang menjadi kambing hitam kenakalan anak muda.

tangis kuat-
cek popok dan dosa
bapak ibunya

Jangan hanya melihat anak panah Gibran yang sudah lepas dari busur menuju takdirnya; tengoklah pula lengan kuat yang menarik tali busur dan mata tajam pemilik lengan yang menentukan sasaran.

Gibran benar tentang orangtua yang hanya menjadi bidan bagi takdir sang anak. Kita mungkin keliru saat berpaling dari fakta, kepribadian anak tak bisa lepas dari orangtua.

21 November 2008

geliat ego

Rasanya ada penyakit berbahaya yang menjangkiti hampir di tiap lapis masyarakat,dari yang terbawah sampai yang teratas: gemar melempar tanggung jawab. Penyakit ini muncul bila ada ketidakberesan dan kondisi itu menuntut penyelesaian. Biasanya,tidak ada jawaban atau penyelesaian segera, selain pengakuan tidak mampu. Celakanya tidak ada yang berani mengaku.

Memang sulit mengakui kekurangan diri sendiri. Bahkan untuk orang-orang yang sudah sadar dirinya dekat dengan Tuhan. Mungkin hanya ada satu dari seribu yang mampu melakukannya. Siapa sih mampu melihat tengkuknya?

kebon tersingkap
coklat kering tanahnya:
geliat si cacing

20 November 2008

bukan milikku

Selagi bermimpi belum dilarang, aku memimpikan waktu bisa diputar ulang. Aku lulus dengan predikat cum laude dari universitas ternama lalu bekerja di perusahaan besar; tentu dengan gaji besar pula.

Maka otomatis aku mampu menikah dengan gadis tercantik, terpandai, mempunyai keluarga ideal dan tidak terlilit masalah keuangan.

Saat terasa perut mulas, aku tersadar, semua itu bukan untukku.

di panti jompo
mawar, lili mekar
sedu sedan nenek

sia-sia

Seorang teman duduk di hadapanku, tampak cemas. Aku bahkan sampai tak berani menduga apa yang dia cemaskan. Tapi kusengaja diam, menunggu dia membuka cerita.

“Aku susah mendapatkan pacar….” Akhirnya dia mengaku.

Ganteng, penampilan dan bicaranya meyakinkan, punya pekerjaan tetap… mustahil dia sulit menemukan jodohnya.

“Apa yang kamu takutkan?” tanyaku.

“Setelah menikah nanti bagaimana? Serba gelap.”

Dengan mengatakan demikian, sebenarnya dia telah mengakhiri pembicaraan. Sebab, bila dia takut pada konsekuensi pilihan, Tuhan pun tidak bisa membantu.

belalang timpang
bertahan pada dinding
ajal mengintip

17 November 2008

ilusi

Hampir tiap tahun, teristimewa menjelang lebaran, saya disuguhi pemandangan yang mengesankan. Orang-orang tumpah ke pasar dan pusat-pusat perbelanjaan; mungkin menghabiskan tabungan selama setahun untuk kebutuhan yang tidak terlampau mendesak, apalagi dalam kondisi perekonomian yang lesu. Seolah daya beli masyarakat tidak pernah turun. Sungguh membesarkan hati.

kilau mal megah
tunduk syukur pengamen
berbaju baru

15 November 2008

hidup miskin

Setelah tragedi zakat di Pasuruan, media massa sepertinya berebut meliput acara pembagian zakat. Untung tragedi itu tidak berulang di tempat lain. Terasa sangat ironis, peristiwa rutin yang membahagiakan harus berakhir dengan duka.

Saya lantas membayangkan peristiwa beberapa bulan sebelumnya saat orang harus antre dan berebut minyak tanah. Tentu saja media tidak mencatat rasan-rasan, gunjingan dan adu mulut para pengantri minyak.

Bahkan setelah itu saya lantas teringat tahun 60-an: juga masih tentang antrean panjang orang mendapatkan kebutuhan hidup. Rentangan waktu yang tercipta sepertinya tidak memberi perbedaan berarti, hanya setting yang berubah.

Dan hidup terus berlangsung...

bayi merah
hangat mentari pagi
dan senyum ibunya

14 November 2008

ibu

Mungkin hampir tiga per empat umur saya meremehkan ibu. Ya, keseluruhannya: dari penampilan hingga pendidikan, dari masa lalu hingga impian-impiannya. Luar biasa jahatnya saya ini!

Setelah anak pertama lahir dan merasakan betapa letih merawat bayi, melihat bagaimana istri pontang-panting gantikan popok dan mencucinya, menyusui...saya makin merasa berdosa.

lahir ke mati
selalu hadir menemani:
jarit bunda

13 November 2008

bergegas

Hampir tengah malam saya mendapat telepon dari istri untuk segera pulang. Istri sedang menuju ke rumah sakit untuk melahirkan. Sangat kesakitan ia dan butuh seorang teman.

Saya menunggu waktu. Gelisah. Teman yang saya mintai tolong untuk mengantar ke halte angkutan umum baru bisa setelah sahur. Maklum, saya tinggal di mess yang letaknya terpencil. Selepas maghrib hanya ada ojek. Kendaraan pribadi saya tidak punya.

Akhirnya selepas sahur saya bisa ke halte itu. Bukaan istri saya sudah delapan. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, ponsel berbunyi. “Pak, istri Anda harus dioperasi cesar untuk menyelamatkan janin dan ibunya,” jelas dokter kandungan istriku.

Otak saya bilang, “Di mana aku bisa mendapatkan uang?” Namun mulut saya serta merta menjawab, “Baik, Dok, saya setuju!” Ada yang jauh lebih berharga dibanding biaya operasi…

buah-buah tangan
berebut pulang
temui cinta

11 November 2008

rapim

Dalam tiap paparan, nada optimis dan positip selalu muncul. Begitu umumnya dalam pertemuan bisnis. Angka-angka dipertontonkan untuk menegaskan bahwa semua sudah berjalan sesuai perencanaan.

Begitu direktur mengucapkan terima kasih, staf yang menghadiri rapat bertepuk tangan dan mulai menyesap minuman yang tadi, selama paparan, tak tersentuh.

Paparanku juga diterima dan mendapat pujian. Artinya: kontrak kerja untuk periode berikutnya aman. Aku aman.

Hati kecilku berkata, “Itu inti pertemuan hari ini.”

rapat pimpinan
soal untung dan prospek:
aku!

panik

Saat bos besar datang dan mengetahui ada ketidakberesan, anak buahku sudah langsung sadar bahwa akan segera mendapat perintah langsung untuk mereka.

“Lakukan ini!” atau “Cepat kerjakan itu!” adalah teriakan yang biasa keluar dari mulutnya tiap kali melihat ketidakberesan. Sepertinya dia yakin ketidakberesan akan segera teratasi.

Tiga hari kemudian, ketidakberesan yang sama kembali muncul karena yang diatasi bos besar cuma gejala, bukan inti persoalan. Lagipula, respon bos besar tadi hanyalah kepanikan.

keluh terbilang:
ditagih sini utang sana
dapur berserak

10 November 2008

thr

Amplop gaji belum kubuka, berharap-harap cemas akan mendapat tunjangan hari raya. Lumayanlah, untuk membantu pembiayaan kontrol istri ke dokter kandungan. Ke kamar amplop itu kubawa. Tebal terasa di tangan

“Mas, thr enggak turun bulan ini! Perusahaan sedang alami kesulitan keuangan,” ujar seorang teman sewaktu kami berpapasan di jalan.

Langitku jadi kelabu.

daun goyang
debu larut terhambur
juga impian

haiku Indonesia?

Akhirnya aku menemukan penyair indonesia yang menulis haiku: Nirwan Dewanto, meski cuma 12 haiku. Apakah puisi Nirwan itu benar-benar haiku,sungguh aku tidak ambil pusing. Yang lebih penting bagiku, adalah kenyataan bahwa haiku bisa berkembang sampai sedemikian jauh. Namun aku tidak memilih haiku kontemporer itu sebagai bentuk ucapan puitisku.

Kenikmatan menulis haiku sebenarnya bukan terletak pada hasil akhirnya sebagai puisi,namun pada proses menulisnya. Observasi,rasa dan bahasa mencapai titik puncaknya. Dan itu bersumber dari kesederhanaan hidup sehari-hari.

Perasaan itu terwakili dari haiku Gabi Greve berikut:

haiku season
my everyday lives
become poetry