Tentang Rumah Bambu

rumah bambu adalah tempat bekerja menggunakan konsep haibun. penikmat sastra dipersilahkan mampir.

19 Agustus 2011

Sebatang Pohon

Selalu saya berbeda pendapat dengan sahabat-sahabat yang punya idealisme untuk mengangkat derajat hidup sesamanya. Biasanya, setelah beradu argumen cukup melelahkan, saya mengajukan pertanyaan, “Biaya mengangkat harkat hidup itu dari mana? Sanggupkah kita membiayai? Kalau sekedar menjadi perantara penyandang dana dan kaum yang akan kita angkat harkat hidupnya, kita tidak perlu berdiskusi panjang-lebar.”

the tree
she finds her future in
a trash bin

(inspired by Aiko Nara’s haiku)

Biaya paling besar adalah konsekuensi setelah seseorang terangkat harkat hidupnya...

18 Agustus 2011

Tik Tak Tik

Saya terkejut ketika seorang siswi SMK bidang pertanian mengajukan pertanyaan, “Pak, apa boleh saya menanam krisan seperti di sini?” Tentu tidak ada yang bisa melarangnya.

Lalu saya memberikan jawaban yang balik membuatnya bengong, “Kalau mau bertani, kamu harus berani menanggung resiko. Bila tidak tahu ke mana harus menjual krisan yang kamu tanam, jangan bertani krisan.”

tik tak tik
berputar semampunya
abadi

Rupanya dia mengerti. Dia tidak bertanya lagi. Sembari tersenyum siswi itu kembali ke krisan yang harus dirawatnya.

16 Agustus 2011

Gurau Purnama

Lagu-lagu berirama pop yang lembut mewarnai radio saya beberapa minggu ini. Syairnya pun bernuansa religius meski tidak merujuk ke agama tertentu. Benar-benar menyejukkan.

setapak kosong
gurau saat purnama
tiada akhir

Berbeda dengan suasana yang dilukiskan oleh berita televisi: saling tuduh dan saling lempar tanggung jawab. Semua perkara tidak jelas ujung pangkalnya sehingga saya tidak peduli lagi...

09 Agustus 2011

Juni Dingin

Menulis menggunakan istilah-istilah teknis sangatlah saya hindari. Pantangan itu saya langgar demi kejelasan tulisan. Saya belakangan ini harus menjawab mengapa krisan yang saya tanam banyak disinggahi hama yang jejaknya tidak bisa dihapus. Jejak mereka itu mengakibatkan mutu krisan terjun bebas dan tidak berharga sama sekali.

Juni dingin
diam-diam berbaring
di hangat pangkuan

Greenhouse tempat saya membudidayakan krisan pada musim hujan kemarin rerata suhunya 30 derajat Celcius dengan kelembaban sekitar 90 %. Suasana seperti itu sangat nyaman bagi hama-hama utama krisan yang dibudidayakan dalam greenhouse. Seakan mereka berkata, “Apapun pestisidanya, kami tetap ber-reproduksi!”

05 Agustus 2011

Seminggu Ramadhan

Kira-kira seminggu bulan ramadhan tahun ini berjalan, saya baru menyadari sebuah kebiasaan anak-anak muda di sekitar tempat kerja saya. Betapa memalukan, saya yang seharusnya terlatih untuk peka pada lingkungan sekitar ternyata melewatkan sebuah peristiwa yang terjadi di depan hidung.

pengisi waktu
cahya bulan menyelinap
sahabat

Jalan mulus - meski di pedesaan dengan ketinggian 800 dpl - dan sepi dimanfaatkan pemuda setempat untuk menguji kemampuan mengendarai motor. Ya, mereka membalap. Drag race, istilah mereka, dengan peralatan keselamatan seadanya. Bisa jadi mereka membayangkan diri mereka sebagai Valentino Rossi saat membalap di seri-seri MotoGP.

04 Agustus 2011

Muslihat Harapan

Tokek hari-hari ini berbunyi, “Naik, enggak… Naik, enggak..!” Dia ingin menggoda setelah mengikuti berita betapa sebentar lagi akan banyak orang menjadi berdosa karena membeli bahan bakar premium. Menarik diikuti, spekulasi menaikkan harga BBM yang sudah pasti akan membebani kehidupan sehari-hari. Tokek itu menjadi teman saya sekarang.

kais-kais
lumpur tepi sungai
keemasan

Belum sempat si tokek menjatuhkan keputusan, sahabat saya berkata, “Bagaimanapun, kita harus sadar,Negara tidak mungkin mensubsidi terus-terusan premium untuk rakyat. Bangkrut nanti Negara kita! Kita harus membiayai Negara.”

Samasekali saya tidak memeriksa kebenaran komentar sahabat saya itu. Biarlah komentar itu hidup sebagaimana tokek -sahabat baru saya itu- berbunyi…

01 Juli 2011

Pria Korek Api

Tinggal di bangunan yang terpencil, jauh dari permukiman penduduk menjadi persoalan bagi saya yang tidak punya kendaraan sendiri. Sangat menyenangkan bila cuaca cerah, saya bisa berjalan kaki menyusuri setapak untuk ber-anjangsana ke tetangga.

tarian
bayang di kaki dian
kampung halaman

Suatu ketika saya melewati sebuah salon –ini salon di pedesaan dan berada di bawah pohon asam- yang tutup. Menjelang maghrib saat itu. Ada seorang lelaki tua berpakaian lusuh sibuk mengumpulkan ranting kering. Tak berapa lama kemudian dia menyalakan api pada ranting-ranting itu. Jelas dia akan berdiang. Tanpa menghiraukan kehadiran saya di dekatnya, dia bersila dekat api. Selepas maghrib salon itu pasti kembali buka, dan saya yakin dia akan mendapat tempat lain untuk berdiang menghangatkan ingatannya akan masa lalu yang indah…

27 Juni 2011

Canda Pagi Hari

Percayalah pada teori gravitasi yang mengatakan tiap benda akan jatuh ke bumi. Camkan, jatuh artinya menuju ke bawah. Maka dari itu tindakan promosi jelas berlawanan dengan teori itu. Seseorang yang berupaya keras dalam upaya promosi –baik dalam olah raga maupun karir- memerlukan energi lebih dari normal, bahkan kadang tidak masuk akal.

daydream-
have all glittering
world’s misery

Misalkan begini, seseorang merebut posisi yang membawahkan dua menejer. Beberapa saat tampaknya ia berhasil sampai bos menganggapnya tidak mampu. Dia pasti jatuh. Berkat keahliannya bersilat lidah dan memutar-mutar logika berpikir, bos setuju usulannya untuk membuat struktur organisasi sehingga dia tetap membawahkan dua menejer yang seharusnya naik menggantikannya. Dia masih di atas, dengan cara yang lucu dan melawan hukum gravitasi…

25 Juni 2011

Wow !

Selama ini selalu dikesankan, orang-orang semacam saya -rakyat kecil- harus dibela karena lebih jujur, lebih terbatas pilihannya dan yang paling utama karena saya miskin. Pemikiran itu benar bila premisnya adalah kaum kaya punya jauh lebih banyak energi (uang) yang memungkinkan mereka mempunyai segudang pilihan dan mempercantik penampilan agar tampak lebih jujur.

berkas putih
pada awan malam kelam
kamu?

Citra itu kemudian luntur, atau bahkan musnah, saat ada berita pengusiran seorang ibu yang baru saja membongkar sebuah peristiwa penyontekan massal. Seolah kami -rakyat kecil dan miskin- mengingkari kebanggaan yang kami bangun sendiri bila berhadapan dengan kaum kaya. Pencitraan selalu gagal menjalankan tugasnya apabila kenyataan yang keras berdiri sebagai cermin.

24 Juni 2011

TBC ( Tempe Bacem Cinta )

Tiap pagi, jam setengah lima, seorang ibu dan putrinya selalu berpapasan dengan saya. Si ibu membawa piring di dalam sebuah kantong plastik sementara tangan kanannya menggandeng si buah hati yang berumur tiga tahun. Rutinitas itu membuat saya bertanya apa yang dibawanya. Piring itu ternyata dua puluh potong tempe bacem untuk dijual di sebuah kedai di depan gang. Saya tahu kedai itu tidak hanya menjual aneka sayur mayur dan bahan masakan lainnya, melainkan juga lauk pauk dan kudapan. Selalu ramai pembeli! Setelah beberapa kali pertemuan, saya mencegat dia untuk membeli seluruh tempe bacemnya, senilai sepuluh ribu rupiah. Ibu muda yang cantik itu, seumuran menantuku, tersenyum. Aku tahu ia membantu suaminya dengan menjual tempe bacem. Saya bersimpati padanya sehingga tiap dua hari aku borong tempe bacemnya yang enak itu.

prok, prok!
perang petani krisan
dan pengorok daun

Aku terharu, aktifitas istriku tiap hari dimaknai luar biasa oleh pak Heru. Hampir setahun dia ikut andil membantu ekonomi keluargaku yang pas-pasan setelah aku terkena penyempitan pembuluh arteri jantung dan harus di-stent agar aku bisa terus produktif. Ya, dengan memborong tempe bacem cinta istriku!

23 Juni 2011

Tahu Campur

Menjelang maghrib di sebuah warung tahu campur. Menu baru saja tersaji, ada di depan mata. Belum lima suapan, si penjual minta maaf karena lampu penerangan warung redup. Ah, saya tidak menyadari keremangan warung karena saya sibuk menikmati makanan yang cocok dengan lidah. Saya maafkan dia. Kembali saya menyuapi hasrat akan makanan enak.

kerlip kota
usai senja menghilang
main mata

Sampailah lidah saya merasakan pedas. Saya mencari air minum. Tengok sana-sini. Aksi itu disambut permintaan maaf lagi. Air minum habis. Teh? Habis pula. Permintaan maaf kali ini disertai kisah, dia hari itu sedang sial karena persiapannya tidak terlalu bagus dan hari itu pertama kalinya berjualan tahu campur. Dalam perjalanan pulang –rasa pedas belum hilang- saya tertawa kecil. Berapa kali dia harus minta maaf malam itu dan berapa versi kisah sebagai dalihnya…

22 Juni 2011

Cita-cita yang Susut

Dalam hati saya selalu bertanya-tanya, mengapa pelaku teror tidak pernah bosan pada tingkahnya sendiri. Sangat boleh jadi mereka punya cita-cita adikodrati, melebihi cita-cita orang kebanyakan. Mereka tidak cukup hanya memiliki kekayaan, posisi terbaik di masyarakat, dan nama baik; bahkan ketiga cita-cita itu pun tidak bermakna. Apa cita-cita mereka? Mungkin, sangat mungkin, mereka hanya ingin bermain-main, mencoba-coba lalu berharap percobaan itu berhasil: permainan yang mereka lakukan menyenangkan.

duh, mual
kaki tangan dingin
ruap cappucino

Andai teror berhenti karena cita-cita adikodrati mereka menyusut.

21 Juni 2011

Korupsi Tiada Henti

Mengikuti pemberitaan tentang penuntasan kasus korupsi sungguh seperti mengikuti melodrama panjang, tidak tahu ujungnya. Dalam melodrama itu plot cerita diulur-ulur sehingga yang terpatri dalam otak adalah melodrama itu terus berlanjut, sama halnya dengan korupsi yang bakal berlangsung tiada henti. Sebagai penonton, saya berharap melihat akhir melodrama, terlebih melihat para tokoh antagonis mengalami penghukuman. Sampai detik ini, harapan saya itu tak lebih dari angin surga…

terbenam matari
memerah ufuk barat
kubur baru